makalah tentang sabar
oleh : Guntur Hasby
oleh : Guntur Hasby
Sabar
berasal dari kata “صبر
- يصبر” yang
artinya menahan. Dan menurut istilah para ulama anta lain :
¤ Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
“Sabar adalah meneguhkan diri dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir
Allah”
Dari
pendapat di atass dapat ditarik kesimpulan bahwa sabar adalah “menahan diri
dari kesusahan dan menyikapinya sesuai syariah dan akal, menjaga lisan dari
celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa dan sebagainya”.
Itulah
pengertian sabar yang harus kita tanamkan dalam diri kita. Dan sabar ini tidak
identik dengan cobaan saja. Karena menahan diri untuk tidak bersikap
berlebihan, atau menahan diri dari pemborosan harta bagi yang mampu juga
merupakan bagian dari sabar. Sabar harus kita terapkan dalam setiap aspek
kehidupan kita. Bukan hanya ketika kita dalam kesulitan, tapi ketika dalam
kemudahaan dan kesenangan juga kita harus tetap menjadikan sabar sebagai aspek
kehidupan kita.
MACAM-MACAM SABAR
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi
tiga macam:
1.
Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT
Menahan
diri kita agar tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang diperintahkan oleh
Allah SWT adalah bagian dari perintah Allah SWT. Kita harus tetap sabar
menjalankan itu semua, karena Allah telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang
menjalankan perintah-Nya dengan baik sesuai syariat yang telah Allah SWT turunkan.
Mulai dari shalat, zakat, puasa, dakwah, dan lain-lain. Itu semua harus kita
jalani dengan sabar.
2.
Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal
yang diharamkan Allah SWT
Tenar sekali salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Raja Dangdut H.Rhoma
Irama dimana ada sebagian liriknya yang berbunyi “mengapa semua yang asik-asik,
itu diharamkan? mengapa semua yang enak-enak itu dilarang?” karena semua itu
adalah memang godaan setan yang merayu kita dengan kenikmatan-kenikmatan
dunyawi. Semua kenikmatan itu hanya semua, karena jalan yang ditunjukan oleh
setan itu tidaklah berakhir kecuali di neraka. Dan kita sebagi umat Islam harus
bersabar dari apa yang dilarang oleh Allah SWT. Yakinlah bahwa semua larangan
itu pasti ada maksudnya. Tidaklah Allah SWT melarang kita untuk berbuat dosa,
kecuali dalam dosa itu pasti ada sebuah kerugian yang akan didapat jika kita
melakukannya.
3.
Bersabar
dalam menghadapi takdir-takdir Allah SWT
Jika
ada salah satu dari kita ditakdirkan dengan kondisi fisik yang kurang, maka
kita juga harus tetap bersabar. Karena bersabar dengan ketentuan Allah SWT
merupakan salah satu dari macam sabar. Dan balasan lain dari sabar kita itu
adalah surga. Rasulallah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfirman “Jika
hambaku diuji dengan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku akan mengganti
kedua matanya dengan surga” (HR. Bukhori).
Semoga Allah SWT menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang sabar dalam
menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan dari apa yang telah
ditakdirkan-Nya. Dan kita harus tetap melatih sifat sabar ini dalam kehidupan
kita sehingga nantinya kita akan dapat menyikapi semua aspek hidup ini dengan
sabar.
Sabar menahan cobaan memang bukan hal yang mudah, tapi itu juga bukan
sebuah hal yang mustahil. Kedudukan orang-orang yang sabar di mata Allah SWT
sangat tinggi. Kita bisa mengambil pelajaran dari sauri tauldan kita Nabi
Muhammad SAW. Beliau adalah seorang penyabar, dikisahkan setelah Rasulullah
wafat – Abu bakar RA mendatangi seorang pengemis Yahudi buta dan memberikan
makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai mnyuapinya, si pengemis marah
sambil berteriak, “Siapakah kamu?” Abubakar RA menjawab, “Aku
orang yang biasa datang”. “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,”jawab
si pengemis buta itu. “Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku,
tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya, setelah
itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri”. Abubakar tidak dapat
menahan airmatanya, ia menangis sambil berkata dengan pengemis itu, “Aku
memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari
sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah
SAW”. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar RA ia pun menangis
dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu
menghinanya, memfitnahnya, ia tidah pernah memarahiku sedikitpun, ia
mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia”.
Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyhadat dihadapan Abubakar RA.
Siapa yang tidak terketuk hatinya dengan kisah ini. Kita bisa melihat
dari kisah diatas bagaimana Rasullah SAW begitu sabarnya dalam berdakwah dan
menghadapi pengemis Yahudi itu. Walaupun Beliau disakiti dengan hinaan, fitnah,
dll. Tapi Beliau tetap menunjukan kemulian akhlaknya. Dan kita sebagai umat
Islam dan pengikutnya, jelaslah harus mengikuti akhlak Beliau. Dan Allah SWT
juga telah memrintahkan kepada kita untuk sabar di dalam firman-Nya “Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” (QS. Al-Baqarah:45). Dalam
ayat ini kata “Sabar” digandengkan dengan “shalat”, dan kita
mengetahui bahwa shalat itu hukumnya wajib. Dan jika ada dua kata perintah
dalam satu konteks ini maka dalam hal ini sabar juga merupakan suatu hal yang
wajib. Allah SWT mewajibkan kita bersabar dalam ayat ini.
Sabar adalah pilar
kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga
dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan
sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah
terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Sahabat Indonesia yang
kualitas hatinya menentukan kualitas rejekinya, berikut adalah resume
dari acara Mario Teguh Golden Ways MetroTV, edisi 22 Agustus 2010, dengan Topik
“Sabar Sampai Kapan?“. Kesabaran adalah masalah hati tetapi solusi kesabaran
dapat ditemukan dalam jalan2 yang terang. Dalam bahasan ini kita akan
mempelajari bagaimana membangun kesabaran yang tidak lagi bertentangan dengan
rasa hormat kepada diri kita; tetapi melalui cara pandang yang logis, sehingga
kita menjadi pribadi yang sabar karena tujuannya jelas.
Kesabaran bukanlah
sebuah sifat tetapi sebuah keputusan karena pengertian yang baik,
sebetulnya tidak ada orang yang punya sifat sabar.
Kesabaran adalah
pengertian yang dibutuhkan untuk bersikap baik, selama menunggu hasil dari
upaya kita. Pengertiannya karena upaya itu membutuhkan waktu untuk baik,
membutuhkan do’a untuk dijawab, maka kita bersabar.
Bahwa dalam membangun
kesabaran ada yang harus ditunggu, dan yang paling sering berhasil dalam proses
menunggu adalah yang sibuk. Maka sibuk-lah dalam menunggu, karena semua orang
sedang menunggu, dan yang paling akhir adalah menunggu kematian.Maka jadilah
pribadi yang sibuk dalam menunggu supaya hasil yang didapat sesuai.Kesabaran
ini tidak akan lengkap tanpa definisi berikutnya. Dalam menghadapi sebuah
kesulitan, menjadikan yang tadinya sulit menjadi mudah.Contoh sederhana, jika
ada rotan dan ada akar yang lebih dahulu dipakai tentunya rotan, tetapi jika
tidak ada rotan maka akarlah yang dipakai.Ingatlah janji Tuhan “Bersama setiap
kesulitan, datang kemudahan”, tetapi kita manusiawi sekali untuk hanya
memperhatikan kesulitan.Sehingga orang yang ramah terhadap kehidupan melihat
kehidupan ini seharusnya mudah, karena tidak ada niatan Tuhan menyulitkan
Kita.Jadi kalau ada kesulitan itu kita seharusnya senang, karena bersamanya ada
kemudahan hanya saja kita belum lihat. Jadi kalau datang sebuah kesulitan
segera palingkan wajah anda untuk melihat kemudahannya.Jadi kalau kita ikhlas,
Tuhan itu memberikan kita kesulitan supaya hidup kita mudah.Setiap orang pasti
menginginkan sesuatu, tetapi belum tentu setiap orang berkeinginan besar dan
mempunyai rencana besar; karena banyak sekali orang tidak tahu mau jadi
apa.Tuhan memiliki rencana bagi setiap jiwa dan setan sangat bersemangat
menggagalkan jiwa muda yang dilahirkan dengan rencana besar. Untuk itu
setan meniupkan rasa malas ke hati anda sehingga anda gemar menunda dan ahli
mengatakan tidak mungkin. Lalu bersahabat dan bergaul dengan sesama
pemalas.Berapa banyak orang tua yang seharusnya sekarnag menjadi pejabat
tinggi, pemuka masyarakat, yang berpengaruh tetapi memboroskan waktu hidupnya
semasa muda dan sekarang menyesal. Dan berapa banyak anak muda yang meniru cara
yang sama, sekarang.Semakin buruknya masalah yang mengganggu anda, menunjukan
semakin besarnya rencana Tuhan bagi anda. Semakin anda direncanakan jadi orang
besar, maka semakin besar pula kekuatan setan untuk menganggu anda.Pada
dasarnya semua orang pemalas, tetapi yang bisa berhasil adalah yang tetap
bekerja walaupun dia malas.Tidak boleh kita memaksakan sesuatu yang harusnya
terjadi karena proses yang panjang dan baik, sekarang. Kita marah tentang
kehidupan, karena kita minta yang seharusnya dicapai dengan proses yang baik, tetapi
hasilnya sekarang. Orang yang tidak punya pilihan harus bersabar kepada
satu2nya pilihan. Kalau anda tidak suka dengan satu pilihan, jadilah pribadi
yang pilihannya banyak.Orang berabar itu harus cerdik, bukan masalah sifat
tetapi masalah keputusan tentang pengertian yang baik.Ada yang dinamakan
istilah Jangkar Prilaku, jadi semua pengertian yang baru kita terima seyogyanya
segera ditransfer dalam bentuk tindakan.Orang yang pengetiannya dalam bentuk
tindakan tidak lagi harus menghafal. Sehingga pikirannya terbuka luas bagi
pengertian-pengertian baru.Orang yang kurang bertindak, kapasitas pikirannya
cepat habis, orang yang banyak betindak dan menjadikan pengetian sebagai
prilaku kesehariannya, ia tidak lagi banyak berfikir.Orang yang menjadikan
do’a-do’anya sebagai prilakunya, tidak banyak lagi dia harus berdo’a karena
kehidupannya adalah do’a. Sehingga dia tidak lagi melafalkan do’a secara formal
tetapi berharapan besar untuk bisa membantu orang yang kekurangan, maka
langsung diberikan kesempatan untuk berejeki baik, bagi sedekah yang lebih besar.
Jika
anda bertemu orang, selalu temukan cara supaya orang itu menyukai dirinya
sendiri. Jika anda menemukan cara terhadap orang lain untuk melihat dirinya
berdiri dibawah sinar yang lebih terang, anda akan dicintai orang, anda akan
dilibatkan dalam pergaulan2 baik, anda akan lebih dicintai istri anda.
Maka
mulai dari sekarang, lihatlah setiap orang sebagai target penggembiraan. Dan
tanpa sadar kita membangun kekuatan diluar diri kita,untuk membantu kita
menjadi pribadi yang gembira.
Kalau
anda mengeluh tentang lambannya kehidupan, maka cek yang anda kerjakan. Apakah
keinginan anda besar tetapi yang anda lakukan kecil?, Jika jawabannya ‘ya’ maka
anda sulit bersabar.
Inginkan
yang besar, perhatikan orang lain bagaimana mencapai kebesaran, ikhlaslah
rayakan kehebatan orang lain, jangan dengki orang berhasil.
Iri
itu bahaya, karena membuat kita dengki orang kaya, padahal tidak semua orang
kaya, kaya dengan ketidak-jujuran.
Salah
satu cara untuk mengenali diri dan kemudian tubuh adalah mengakui kehebatan
orang lain. Dengannya kita lebih ikhlas melihat diri sebagai pribadi yang harus
belajar.
Jadi
kalau yang kita inginkan besar, maka tertariklah kepada orang2 yang berhasil
melakukan hal2 yang besar; lalu tiru-lah dia. Meniru sesuatu sesuatu yang baik,
membuat yang lemah dalam kehidupan kita lemah. Sehingga jika kita bersabar,
kita bersabar dalam perjalanan naik. Bukan bersabar menyesuaikan diri dengan
kelemahan.
Semua
keberhasilan terbaik anda datang setelah kekecewaan yang anda hadapi dengan
sabar. Jika kita sudah jujur, sudah bekerja keras, sudah patuh sama Tuhan
tetapi belum berhasil, tidak ada cara lain kecuali bersabar.
Kita
akan bersabar selama kesabaran dibutuhkan, sampai kapanpun tidak ada batasnya.
Tuhan
berjanji “Bersama kesulitan ada kemudahan” dan janji itu diulang dua kali.
Marilah kita membiasakan diri untuk menerima kesulitan dengan damai, lalu
menjernihkan pikiran untuk melihat kemudahan yang datang bersama kesulitan.
Kapanpun
kesulitan itu datang kepada anda, upayakanlah untuk mencari hal2 yang sekarang
menjadi mudah bagi anda. Lalu perhatikan apa yang terjadi.
Rasulullah saw bersabda,"Demi
Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya takut
jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian
sehingga mereka saling memperebutkannya."
Gejala inilah yang
nampak di tengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah
masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang
berkembang. Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit
ditemukan kecuali di dalamnya terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu,
sopan, dan ketawadhuan. Perubahan cara pandang ini selanjutnya mengubah gaya
hidup masyarakat.
Akan tetapi, jika masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah saw bersabda, "Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah." Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadits ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah. Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan, para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya'la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik. Jika kita runut ke belakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah Isa bin Maryam as, Yahya bin Zakaria as, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush'ab bin Umair, dan Salman AI-Farisi. Sedangkan orang-orang kaya yang bersyukur, di antaranya Ibrahim as, Ayub as, Dawud as, Sulaiman as, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubeir, Sa'ad bin Muadz ra, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?Kalau kebenaran kita sandarkan hanya kepada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur`an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah SWT berfirman :
Akan tetapi, jika masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah saw bersabda, "Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah." Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadits ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah. Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan, para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya'la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik. Jika kita runut ke belakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah Isa bin Maryam as, Yahya bin Zakaria as, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush'ab bin Umair, dan Salman AI-Farisi. Sedangkan orang-orang kaya yang bersyukur, di antaranya Ibrahim as, Ayub as, Dawud as, Sulaiman as, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubeir, Sa'ad bin Muadz ra, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?Kalau kebenaran kita sandarkan hanya kepada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur`an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah SWT berfirman :
يايها
الناس انا جلقناكم من ذكر وانثى وجعلنا كم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند
الله اتقاكم ان الله عليم خبير
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian" (QS Al-Hujurat:
13).
Lalu, seperti apa takwa
yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur'an jawabannya akan
semakin terlihat. Allah SWT berfirman :
فتقو الله فرضا حسنا
يضعفه ويغفر لكم والله شكر حليم
"Maka bertakwalah sesuai kadar
kemampuan kalian." (QS At-Taghabun: 16)
Artinya, stressing point dari lafal "takwa" adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni, usaha seorang hamba untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS AI-Hasr: 7).
Artinya, stressing point dari lafal "takwa" adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni, usaha seorang hamba untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS AI-Hasr: 7).
Artinya, kebaikan bukan
terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak
dari hal ini maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk
dicari pada zaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan
kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, di sisi lain
merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia
adalah Nabi kita Muhammad saw. Wallahu a'lam.
Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim
mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa
kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar.
Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak
terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur
memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba
dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih
jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa
nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan
kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang
memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya
dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi
sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal,
dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan
menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti
menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan
lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin
membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita
terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal
yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi
lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi
sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama,
karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang
lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak
selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas
menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah
kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu
dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri
saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh
antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih
bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya,
yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya,
sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ
عَبْدَهُ
“Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?”
(QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat
penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi
kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya,
maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya.
Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam
golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ
سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
“(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas
hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)”
(QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan
pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar
menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun
menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias
syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali
saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari
gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan
syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah
(peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya
lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat
itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa,
segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi
luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang
bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan
tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim
lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan
bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa,
yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang
karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah
menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam
suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal
shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik
jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa
semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian
ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan
maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia
terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang
boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi
akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya
yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan
amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan
suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan
masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi,
semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.
DALAM sebuah buku yang berjudul “Jihad al-Nafs” karya
Ayatullah Mazhahiri (Beirut: Al-Mahijjah Al-Baidha, 1993, hal. 69-70)
diceritakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada seorang istri sholihah yang
memiliki anak kecil yang sakit.
Ketika suaminya bekerja di tempat jauh, anaknya itu
wafat. Istri itu duduk dan menangisi kepergian anaknya itu. Tiba-tiba ia
berhenti menangis dan sadar bahwa sebentar lagi suaminya pulang ke rumah. Ia
bergumam, jika saya menangis terus di samping jenazah anakku ini, kehidupan
tidak akan dikembalikan kepadanya dan akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia
pulang dalam keadaan lelah. Ia cepat-cepat meletakkan anaknya yang wafat itu
pada suatu tempat.
Datanglah suaminya itu dari tempat kerjanya. Sang istri
pun menyambutnya dengan senyum dan penuh kasih sayang. Ia sediakan makanan
kesukaannya dan membasuh kaki suaminya itu.
”Mana anak kita yang sakit?” tanya suami. Istrinya
menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Sang istri mengajak suaminya
untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi,
dan shalat sunah. Saat suami akan berangkat ke mesjid untuk shalat shubuh
berjamaah, istrinya berkata dengan tenang, “Suamiku aku ingin menyampaikan
sesuatu padamu”.
“Silahkan, sebutkan,” kata suaminya. Sang istri pun
berkata, “Jika ada yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya
diambil dari kita, bagaimana pendapatmu jika amanat itu kita tahan dan kita
tidak mau memberikan kepadanya?”
“Itu perbuatan paling akhlak yang buruk dan bisa disebut
khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Kita wajib
mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya bila dminta,” jawab suaminya.
“Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita.
Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak
kita sekarang wafat. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan
lakukanlah shalat,” timpah sang Istri.
Suami itu melihat anaknya dan kemudian pergi ke masjid
untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Seusai suami itu mengkabarkan kematian
anaknya. Nabi Muhammad SAW langsung mendekatinya seraya berkata, “Diberkatilah
malam kamu yang tadi itu. Malam ketika suami istri bersabar dalam menghadapi
musibah”.
Begitulah seharusnya menyikapi ujian. Yakni dengan
bersabar dan tawakal kepada Allah. Namun tidak semua orang bisa memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi seperti pasangan tersebut.
Arti Sabar
Definisi sabar menurut sufi ternama Dzun-nun Al-Mishri,
“Sabar ialah menajuhi perselisihan, bersikap tenang dalam menghadapi cobaan
yang menyesakkan hati, dan menampakkan rasa kecukupan ketika ditimpa kesusahan
dalam kehidupan”. Sedikit berbeda dengan Ar-Raghib Al-Ashfihani, yang
mengatakan bahwa sabar memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks
kejadiannya. Menahan diri saat ditimpa musibah dinamakan shabr (sabar),
sedangkan lawan katanya jaza’ (gelisah, cemas, risau), menahan diri dalam
peperangan dinamakan syaja’ah (keberanian) dan lawan katanya jubn (pengecut, lari
dari peperangan), menahan diri dari kata-kata kasar disebut kitman (diam) dan
lawan katanya ihdzar/hadzar (mengecam, marah). Namun secara umum, semua yang
berkaitan dengan menahan biasanya dikategorikan sabar.
Keutamaan Sabar
Keutamaan Sabar
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman
يها الذين ءامنوا اصبروا
ورابطواواتقواالله لعلكم تفلحونيا
“wahai
sekalian orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah
kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga” (Q.S. Ali Imran : 200).
Ayat ini
memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah,
menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan
kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT.Dalam
Al-Quran
انما يوفى
الصبرون اجهرهم بغير حساب
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar:10).
Tentang ayat ini, Sayyidina Ali bin Abu Thalib
menerangkan, setiap orang yang mencapai derajat muthi’ (orang yang taat), kelak
akan ditimbang amalnya dengan timbangan atau takaran. Berbeda dengan orang yang
berderajat shabir (orang yang sabar), mereka ini mengeruk pahala laksana
mengeruk debu yang tidak terhitung jumlahnya.
Sungguh luar biasa derajat orang sabar. Selain
mendapatkan pahala yang besar, juga dikatakan sebagai bagian dari iman.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ad-Dailami dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah SAW bersabda,
الصبر نصف الايمان
“Kesabaran adalah setengah dari iman”.
Begitulah keutamaan dan pentingnya bersabar, termasuk
dalam menjalankannya. Insya Allah, setiap kali kita bersabar atas sesuatu yang
tidak kita kehendaki dan bersabar atas apa yang belum kita kehendaki, pasti
berbuah pahala dan hikmah yang tak ternilai.